ME VS QUARTER LIFE CRISIS
Sebagai manusia yang telah memasuki usia ninu-ninu (baca: 25 tahun ke atas) Yu Jatri musti siap-siap dengerin berbagai macam pertanyaan ‘kapan’ yang gak jarang bikin ati Yu Jatri jadi nano-nano. Kapan lulus, kapan mulai kerja, kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah momongan dan serentetan pertanyaan kapan lainnya. Mau dijawab ntar bakal timbul pertanyaan yang lebih horor, ga dijawab juga segen. Sobat Yu Jatri pasti pernah ngalamin juga, bukan?
Menurut Yu Jatri ada dua kemungkinan pertanyaan tersebut sering diajukan oleh penanya. Pertama, mungkin karena si penanya itu perhatian sama kita dan biasanya sih ini dilakukan oleh orang yang bener-bener deket sama kita. Kedua, mungkin penanya lagi basa-basi sekadar pengen buka obrolan sama kita. Dan kelompok kedua ini biasa dilakukan oleh orang yang ga begitu deket dan jarang interaksi sama kita. Tapi mbogyao ngerti, kan ada berbagai macam bentuk basa-basi selain pertanyaan kapan. Lha wong kita sendiri juga gak ngerti pertanyaan ‘kapan’ yang sampeyan-sampeyan ajukan itu kapan bakal terjadi, karena yang namanya takdir cuma Yang Maha Kuasa yang ngerti dan yang ngatur. Sebagai manusia (kalau masih manusia) cuma bisa nerima kahanan (takdir) sambil berusaha yang terbaik.
Tapi kalau boleh jujur nih, pertanyaan-pertanyaan semacam itu gak cuma datang dari luar, dari orang lain. Tapi sering datang dari dalam diri Yu Jatri sendiri. Kapan bisa begini, kapan bisa begitu. Kenapa dulu ga begini, kenapa dulu ga begitu. Gak jarang juga Yu Jatri sampe dibuat puyeng mikirin diri sendiri dan nanggepin pertanyaan dan nyiyiran orang.
Lha terus kenapa angka 25 tahun yang diambil? Karena banyak yang menganggap bahwa usia 25 tahun adalah puncak kedewasaan seseorang. Di usia tersebut seseorang akan meninjau kembali masa lalunya, apa saja yang telah dilakukan, apa saja yang telah dicapai dan bagaimana nasibnya di masa datang. Di usia ini pula seseorang telah dianggap mampu mengemban tanggung jawab yang lebih besar menuju masa depan yang lebih matang. Inilah yang sering kita sebut Quarter Life Crisis.
Apalagi dengan maraknya sosial media yang sekarang sangat dekat dengan kehidupan kita, gak jarang membuat kita akhirnya membandingkan diri dengan orang lain. Pencapaian yang diraih orang lain kadang membuat kita merasa insecure dengan pencapaian diri. Kita juga sering merasa seakan dunia menuntut kita menjadi sesuatu sesuai standar kesuksesan orang lain, nikah, punya anak, punya karir bagus, liburan eksklusif ke luar negeri, punya mobil dan rumah mewah, dan semua pencapaian untuk menunjukkan status sosial lainnya.
Kita juga sering disibukkan dengan membuat bucket list goal-goal yang akan kita capai, tak lupa dengan tenggat waktu pencapaiannya. Namun terkadang kita lupa untuk membuat goal pengembangan diri, seperti ibadah tepat waktu, mulai nge-list buku yang bakal kita baca atau berusaha ga julidin tetangga yang masa gitu. Dan pada akhirnya kita terjebak pada arena balap lari yang kita sendiri tidak memiliki kesiapan energi untuk mencapai goal-goal yang kita buat secara instant.
Padahal bisa jadi yang mempermudah kita menuju goal-goal besar kita adalah usaha kita untuk ga tidur lagi selesai subuhan atau senantias ikhlas nebengin temen yang ga punya kendaraan dan usaha-usaha kecil kita lainnya yang terkadang luput untuk disyukuri.
Kalo pengalaman Yu Jatri dalam menghadapi QLC sih ga terlalu dibikin drama. Ya, sebagai manusia biasa pernah ngerasain hidup kok ya gini-gini aja. Stuck, jalan di tempat. Tapi kalo dirasa-rasain pikiran itu muncul ketika ngelihat pencapaian teman yang di atas kita. Lihat temen lanjut sekolah, lihat temen udah nikah atau mereka yang pada punya karir bagus. Setelah itu Yu Jatri harus cepet-cepet hempaskan pikiran seperti itu, karena masih banyak juga orang-orang di luar sana yang sedang menginginkan posisi Yu Jatri saat ini, namun mereka tidak seberuntung Yu Jatri. Banyak-banyakin lihat ke bawah buat banyakin syukur. Sesekali lihat ke atas sebagai bahan bakar penyemangat hidup yang lebih baik.
Jadi, sebenernya Quarter Life Crisis itu wajar saja terjadi pada setiap orang di belahan dunia manapun, dan terjadi di setiap generasi. Untuk mengatasi masa ini tentu tergantung bagaimana kita menyikapi masa-masa tersebut. Mau melawan arus dengan senantiasa meningkatkan kapasitas diri atau mau tetep stuck dengan keadaan, yang pada akhirnya membuat kita menyalahkan keadaan.